Negara Republik Indonesia tercinta kita ini ternyata sungguh lucu. Sebuah produk Undang-undang yang dibuat oleh para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal ini Undang-undang Kesehatan sempat dikorupsi atau terdapat ayat --berkaitan dengan rokok-- yang hilang (entah sengaja atau tidak) pada saat diserahkan kepada Presiden untuk disahkan, setelah sebelumnya disahkan dalam rapat paripurna DPR. Yang lucunya lagi, ayat yang hilang itu ternyata dikembalikan masuk ke dalam Undang-undang tersebut. Kok bisa ya?
Begini kisahnya.
Ayat Berkaitan dengan Rokok di UU Kesehatan Dikorupsi
Korupsi di negara ini tak hanya menjarah uang negara tapi juga 1 ayat di UU Kesehatan. Pasal 113 ayat 2 dihilangkan setelah disahkan pada 14 September 2009. Ayat itu berkaitan dengan rokok.
Demikian disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW), Tobacco Control Support Center (TCSC), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Komnas Perlindungan Anak di Hotel Sofyan Betawi, Jl Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/10/2009).
"Pada waktu disahkan di paripurna, Pasal 113 UU Kesehatan masih berisi 3 ayat. Namun pada waktu UU itu dikirim ke Presiden untuk ditandatangani, ternyata pasal itu hanya berisi 2 ayat, di mana ayat 2 yang ikut disahkan di paripurna ternyata dihapus," ujar anggota pengurus harian YLKI Tulus Abadi.
Ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan itu berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya."
Namun, imbuh Tulus, karena tergesa-gesa dan tidak cermat penghapusan pasal tersebut ternyata tidak diikuti dengan penghapusan penjelasan pasal per pasal.
"Pasal 113 yang sudah berisi 2 ayat ternyata masih tetap memiliki 3 ayat penjelasan pasal. Nah, gobloknya memang di sini," sindir Tulus.
Karena itu ICW, YLKI TCSC dan Komnas Anak menuntut pada Presiden Republik Indonesia untuk tidak menandatangani UU Kesehatan dan mengembalikan ayat yang dihilangkan sebagaimana aslinya seperti yang disahkan di paripurna.
"Kami berencana akan mengajukan upaya litigasi kalau permintaan ini tidak ada respons. Yaitu laporan pidana ke polisi, gugatan ke pengadilan atau mengajukan judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi). Kami juga menuntut kepada Badan Kehormatan DPR untuk melakukan pengusutan tuntas kasus korupsi pasal ini," tegas Tulus.
Sementara mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Kartono Mohamad mengatakan ada dampak yang signifikan jika pasal yang merupakan inti Pasal 113 itu dihilangkan.
"Kalau ayat 2 masuk, akan ada turunannya yang mengatur zat adiktif. Yang kena dampaknya ya industri rokok yang akan terkena pengaturan. Kalau ini hilang, tidak bisa diatur peredaran rokok," jelas Kartono.
Ayat Terkait Rokok Dikembalikan
Ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan dikorupsi setelah disahkan pada 14 September 2009. Nah, bagaimana nasib ayat yang hilang -- yang terkait rokok -- itu?
Mantan anggota DPR Komisi IX dari Partai Demokrat (PD) dr Hakim Sorimuda Pohan SpOG pun berkisah. Pada Selasa (6/10) malam, anggota DPR Komisi IX, Sekretariat DPR Komisi IX bertemu dalam acara perpisahan anggota DPR lama di Kantor BKKBN pusat. Hakim yang hadir pada acara itu diberi tahu pihak Sekretariat DPR Komisi IX bahwa ayat yang hilang itu sudah masuk kembali.
"Namun ada tambahannya. Mereka katakan 'Kita bicara dengan pihak Depkes, dan tidak keberatan kalau ayat 2 itu masuk lagi'. Berarti ini kongkalikong, bisa juga pernyataan itu excuse dari mereka (Sekretariat DPR). Saya kira kita mesti teruskan (diselidiki) ini," kata Hakim.
Hal itu disampaikan Hakim dalam jumpa pers 'Korupsi Ayat pada UU Kesehatan' di Hotel Sofyan Betawi, Jl Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/10/2009).
Menurut Hakim, jika ayat yang dikorupsi itu sengaja dihilangkan, maka yang terjadi adalah pelanggaran konstitusi. Dalam konstitusi di Indonesia, RUU itun dibahas bersama, di mana kekuasaan membentuk UU berada pada DPR, bukan pemerintah.
"Kalau sudah disetujui bersama, dia sudah menjadi UU yang mengikat untuk seluruh warga negara," jelasnya.
Hakim juga menilai, ayat yang sengaja dihilangkan itu jika benar, adalah perbuatan hukum pidana. Di kalangan internal DPR hal itu merupakan pelanggaran kode etik.
"Berkaitan dengan keterpujian atau ketercelaan anggota. Tindakan yang dilakukan tercela atau tidak terpuji harus ada pengaduan dari luar. Saya bisa mengadukan, tapi lebih afdol kalau masyarakat yang mengadukan," kata dia.
Menurut mantan Ketua Senat Mahasiswa FKUI 1965-1967 ini, ada beberapa kemungkinan perlakuan kepada Sekretariat jika ada ayat itu hilang setelah disahkan. Pertama, kalau ayat yang hilang itu tidak disengaja oleh Sekretariat DPR, mereka akan ditegur dan UU diperbaiki segera.
"Bisa dimaklumi kalau mereka yang melakukan pengetikan dari hasil rekaman belum tentu bisa sama, bisa saja instan. Dari rekaman ke transkrip bisa terjadi kesalahan. Bisa diperbaiki tanpa perlu ribut ke mana-mana," katanya.
Kedua, kalau ayat itu sengaja dihilangkan dan diakui, bisa kita tegur dan ayat itu dikembalikan seperti semula sebelum keluar dari DPR. Kalau sudah terlanjur jadi dalam bentuk UU dan dimasukkan ke Lembaran Negara terpaksa dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau legislative review.
"Apabila disadari ada penyelewengan, bisa legislative review. DPR bisa bikin Pansus lagi, disetujui dan ayat itu dikembalikan," jelasnya.
Sementara menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) divisi korupsi politik Abdullah Dahlan menduga ada proses reduksi ayat dari DPR ke Setneg. Ada 2 kemungkinan, pertama, bisa jadi beberapa anggota DPR yang berkepentingan yang bekerja sama dengan bagian sekretariat. Kedua, bisa dari sisi eksekutif atau pemerintah.
"Kenapa sampai ada komunikasi 'Depkes tak berkeberatan ayat dikembalikan'. Ini ada upaya sistematis," jelasnya.
Padahal, dalam pembuatan UU, satu kata, titik maupun koma saja bisa menjadi perdebatan sengit. Dia pun menilai penghilangan ayat ini pelanggaran kode etik berat.
"Ini kejahatan legislasi. Pelanggaran kode etik berat. Anggota DPR itu 550, tapi mewakili 220 juta penduduk. Ini diketahui karena kita mengawasi. Kita tetap akan mendorong upaya hukum untuk menyelidiki siapa yang bertanggung jawab," tukas Abdullah.
.
Kata saya:
Ampuuun... mau dibawa kemana negara ini...???
Ampuuun... mau dibawa kemana negara ini...???
|